Selasa, Oktober 28, 2008

Ilmu VS Ibadah

Perlu diketahui bahwa, tidak ada agama selain Islam, dan tidak ada kitab suci selain Al-Qur’an yang demikian tinggi menghargai ilmu pengetahuan, mendorong untuk mencarinya, dan memuji orang-orang yang menguasainya. Sampai termasuk di dalamnya menjelaskan ilmu dan pengaruhnya di dunia dan akhirat, mendorong untuk belajar dan mengajar, serta meletakkan kaidah-kaidah yang pasti untuk tujuan tersebut dalam sumber-sumber Islam yang asasi: Al-Qur’an dan As-Sunnah (Yusuf Qardhawi, 1999: 90-91). Ini membuktikan bahwa Islam sebagai agama yang sempurna dan Al-Qur’an sebagai kitab yang juga sempur, dibuktikan dengan penghargaan begitu besar terhadap ilmu pengetahuan. Seperti firman Allah di bawah ini:

“Diangkat oleh Allah orang-orang yang beriman dari pada kamu dan orang-orang yang diberi ilmu dengan beberapa tingkat” (Al-Mujadalah [ ] : 11).

Begitu pentingnya ilmu, Imam Bukhari berani meletakkan bab ilmu dalam sahihnya dengan topik, “Bab al-Ilmu Qablal Qaul wal Amal” (ilmu sebelum perkataan dan perbuatan). Para komentator mengatakan bahwa dengan pencantuman bab seperti itu Imam Bukhari ingin menunjukkan bahwa ilmu merupakan syarat sahnya perkataan dan perbuatan, keduanya tidak dinilai tanpa adanya ilmu, karenanya ilmu didahulukan daripada keduanya, ia merupakan pelurus niat dan amal (Yusuf Qardhawi, 2000: 67).
Imam Ghazali juga berani mengatakan bahwa ilmu lebih didahulukan dibandingkan dengan ibadah. Keberanian beliau mengatakan ilmu lebih didahulukan dibandingkan dengan ibadah, disampaikan dalam mengawali tulisan bukunya Minhajul Abidin, dengan seruan: “Wahai orang-orang yang ingin terbebas dari segala bahanya dan yang ingin beribadah dengan benar. Harus membekali diri dengan ilmu.sebab, beribadah tanpa bekal ilmu adalah sia-sia, karena ilmu adalah pangkal dari segala perbuatan (Imam Ghazali, 2003: 15).
Yusuf Qardhawi, juga mengikuti jejak Imam Ghazali dengan berani mengatakan bahwa, di antara prioritas penting syariah adalah prioritas mendahulukan ilmu dari pada ibadah. Ilmu datang mendahului ibadah, ia merupakan acuan dan penunjuk ibadah. Beliau mengutip hadits Muadz untuk memperkuat pendapatnya (Yusuf Qardhawi, 2000: 67):

“Ilmu itu pemimpin, sedang amal adalah pengikutnya”
Pendapat tokoh-tokoh Islam baik yang klasik –Imam Ghazli—dan modern –Yusuf Qardhawi—di atas, lebih mengutamakan “ilmu dari ibadah”, pendapat ini perlu dikaji kebenaranya, apakah benar ilmu lebih utama dari ibadah? Atau ibadah yang lebih utama dari ilmu? Atau antara ilmu dan ibadah memiliki posisi sederajat, sehingga tidak ada yang diunggulkan, tetapi keduanya memiliki hubungan simbiosis (saling membutuhkan). Ini pelu dikaji lebih mendalam.

Ilmu Lebih Didahulukan dari Ibadah
Sesungguhnya ilmu dan ibadah adalah dua mata rantai yang saling berkait. Karena, pada dasarnya segala yang kita lihat, kita dengar dan kita pelajari adalah untuk ilmu dan ibadah. Ibarat sebuah pohon, ilmu ibarat pohonnya, dan ibadah ibarat buahnya. Maka, jika kita beribadah tanpa dibekali ilmu, ibadah tersebut akan lenyap bagaikan debu ditiup angin. Di sini, kedudukan pohon lebih utama, sebab pohon merupakan intinya. Akan tetapi, buah mempunyai fungsi yang lebih utama. Oleh karena itu, kita harus memiliki keduanya, yakni ilmu dan ibadah (Imam Ghazali, 2003:17).
Sehubungan dengan itu berkatalah Imam al-Hasanul Basri:

“Tuntutlah ilmu dan tanpa melalaikan ibadah. Dan beribadahlah dengan tidak lupa menuntut ilmu.

Tetapi ungkapan Imam Ghazali dan Yusuf Qardawi di atas, yang berani mengatakan bahwa ilmu lebih diutamakan dari ibadah, bukan tanpa alasan, mari kita kita kaji bersama-sama dan semuga kajian ini menambah ketakwaan kita dengan beribadah yang sesuai dengan tuntunan Rasulullah SAW.
Alasan bahwa ilmu adalah lebih utama dari ibadah ada dua menurut Imam Ghazali, Pertama, agar kita berhasil dan benar dalam beribadah. Karena dalam beribadah harus diketahui terlebih dahulu siapa yang harus di sembah, baru kemudia kita menyembah, apa jadinya jika kita menyembah, sedangkan yang kita sembah itu belum kita ketahui asma’ dan sifat-sifat dzat-Nya, serta sifat wajib dan mustahil bagi-Nya?. Sebab kadang-kadang seseorang mengi’tikadkan sesuatu yang tidak layak bagi-Nya. Maka ibadah yang demikian itu akan sia-sia menurut Imam Ghazali (Imam Ghazali, 2000: 18).
Dikisahkan, ada dua orang, yang seorang adalah orang berilmu yang tidak pernah beribadah, dan seorang lagi orang yang tidak berilmu tetapi menjalankan ibadah.
Kemudian, keduanya diuji oleh seseorang, berapa kadar kejahatan kedua orang tersebut. Lantas, si penguji mendatangi keduanya dengan mengenakan pakaian yang megah.
Ia berkata kepada orang yang rajin beribadah, “wahai hamba-Ku, aku telah mengampuni seluruh dosamu. Maka, sekarang kau tidak usah beribadah lagi.”. ahli ibadah menjawab, “Oh, itulah yang kuharapkan darimu ya Tuhanku.”
Ahli ibadah menganggap si penguji sebagai Tuhan, sebab ia tidak mengetahui sifat-sifat Tuhannya.
Selanjutnya, sang penguji mendatangi orang yang berilmu, yang waktu itu ia sedang minum arak. Penguji berkata, “Wahai manusia, Tuhanmu akan mengampuni dosamu!”. Dengan geram ia menjawab, “kurang ajar! (seraya mencabut pedangnya), engkau kira aku tidak tahu Tuhan?!”.
Demikianlah, bahwa orang yang berilmu tidak akan mudah tertipu, dan sebaliknya orang yang tidak berilmu akan mudah tertipu.
Kini semakin jelas, setiap hamba Allah harus memiliki ilmu dan menjalankan ibadah, dengan ilmu sebagai inti atau pokok harus di utamakan.
Kedua, mewajibkan mendahulukan ilmu dengan ibadah, karena ilmu akan menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT:

“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (yang mengetahui kebesaran dan kekuasaan Allah)…. (Fathir: 28)

Tanda bahwa ilmu dapat menimbulkan rasa takut kepada Allah adalah, orang yang tidak mengenal Allah dengan sebenar-benar takut terhadap-Nya, tidak dapat mengagungkan Allah dan menghormati-Nya. Hanya dengan ilmu seseorang bisa mengenal dan mengagungkan dengan sebenar-benanya.
Jadi, ilmu yang diberkati Allah akan menimbulkan ketaatan dan mampu mencegah perbuatan maksiat. Juga tidak ada lagi yang dituju dalam beribadah selain menjalankan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya.
Oleh sebab itu, bagi yang mengiginkan kehidupan akhirat, akan mendahulukan menuntut ilmu sebelum mengerjakan urusan lainnya. Semoga Allah membeikan petunjuk kepada kita, karena sesungguhnya Allah Maha Memberi dan Maha Pemurah.
Menjadi rujukan awal Yusuf Qardhawi agar mendahulukan ilmu daripada ibadah adalah bahwa ayat yang pertama sekali diturunkan adalah perintah membaca, “iqra’” sedangkan membaca merupakan kunci ilmu. Berikutnya turun ayat yang memerintahkan beramal, seperti “wahai orang yang berselimut. Bangunlah, lalu berilah peringatan. Dan Tuhanmu agungkanlah. Dan pakaiannmu bersihkanlah” (al-Muddatstsir: 1-4).
Wahyu pertama itu tidak menjelaskan apa yang harus dibaca, karena al-Qur’an menghendaki umatnya membaca apa saja selama bacaan tersebut bismi Rabbik, dalam arti bermamfaat untuk kemanusian. Iqra’ berarti bacalah, telitilah, dalamilah. Ketahuilah cirri-ciri sesuatu; bacalah alam, tanda-tanda zaman, sejarah, maupun diri sendiri, yang tertulis maupun yang tidak, akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah. (Quraish Shihab, 1997: 433). Dengan membaca sebagai kunci ilmu lebih diutamakan dari ibadah sebab dengan membaca kita dapat lebih mengenal Allah baik melalui tek tertulis maupun tidak seperti alam yang telah diciptakan Allah, itulah alasan pertama dari Yusuf Qardhawi kenapa ilmu lebih utama dari ibadah.
Alasan kedua, didahulukan ilmu atas amal disebabkan ilmulah yang membedakan antara yang hak dan yang batil dalam kepercayaan; benar dan salah dalam kategorisasi; sunnah dan bidah dalam peribadatan; baik dan cacat dalam muamalah; halal dan haram dalam tindakan; sifat terpuji dan jelek dalam akhlak; yang diterima dan yang ditolak dalam pengukuran; yang rajah dan marjuh (berat dan ringan) dalam perkataan dan perbuatan (Yusuf Qardhawi, 2000: 68).
Itulah alas an kedua pemikir Islam, Imam Ghazali dan Yusuf Qrdhawi, mengapa keduanya lebih mendahulukan ilmu dari ibadah, karena menurut beliau berdua ilmu merupakan hal yang sangat fundamental (mendasar) dalam melaksanakan ibadah, jadi jika ibadah tanpa didasari ilmu menjadi sia-sia ibarat sholat tanpa di awali oleh wudu’.

Cara Mendapatkan Ilmu
Bagaimana untuk memperoleh ilmu, agar ibadah kita menjadi sempurna Quraish Shihab dengan mengutip ayat suci Al-Qur’an memberikan cara kepada kita agar dapat memperoleh ilmu. Beliau mengatakan bahwa ada tata cara dan sarana yang harus digunakan untuk meraih ilmu pengetahuan. Beliau meneruskan dengan firman Allah:

“Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur (menggunakannya sesuai petunjuk ilahi untuk memperoleh pengetahuan) (QS Al-Nahl [16]: 78).

Ayat ini mengisyaratkan penggunaan empat sarana yaitu, pendengaran, mata (penglihatan) dan akal serta hati. Agar kita dapat memperoleh ilmu semaksimal mungkin dengan melalui empat cara tersebut. Kita harus mengoptimalkan empat sarana tersebut agar ilmu yang kita peroleh mencapai ketinggian.
Pendengaran dan penglihatan merupakan sarana yang paling utama untuk mendapatkan ilmu, karena pendengaran dan penglihatan alat utama untuk menyerap ilmu (informasi) kemudian direspon oleh otak, meskipun pendengaran dan penglihatan tidaklah mutlak kebenaranya, seperti yang dikatakan oleh beberapa filosof.
Dengan kedua sarana ini, kita dapat melakukan trial and error (coba-coba) dengan melakukan pengamatan, percobaan dan tes-tes kemungkinan (probability) merupakan cara-cara yang digunakan ilmuan untuk meraih ilmu. Hal itu juga disinggung oleh Al-Qur’an , seperti dlam ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berpikir tentang alam raya, melakukan perjalanan, dan sebagainya, kendatipun hanya berkaitan dengan upaya mengetahui alam materi.

“Apakah mereka tidak memperhatikan bagaimana unta diciptakan, bagaimana langit ditinggikan, bagaimana gunung ditancapakan dan bagaimana bumi dihamparkan? (QS Al-Ghasyiyah[88] : 17-20).

Di samping mata, telinga dan pikiran sebagai sarana meraih pengetahuan, al-Qur’an pun menggarisbawahi pentingnya peranan kesucian hati. Wahyu dianugerahkan atas kehendak Allah dan berdasarkan kebijaksanaan-Nya tanpa usaha dan campur tangan manusia. Sementara firasat, intuisi dan smacamnya, dapat diraih melalui penyucian hati . dari sini para ilmuan Muslim menekankan pentingnya tazkiyah an-nafs (menyucikan jiwa) guna memperoleh hidayah (petunjuk/pengajaran Allah), karena mereka sadar terhadap kebenaran firman Allah:

“Aku akan memalingkan orang-orang yang menyombongkan diri dari muka-bumi—tanpa alas an yang benar—dari ayat-ayat Ku…. (QS Al-A’raf [7]: 146).

Semoga kita termasuk golongan orang-orang yang selalu menuntut ilmu tanpa mengabaikan ibadah, dan termasuk pula orang yang beribadah dengan berdasarkan ilmu. Mulai dari detik ini marik kita tingkatkan ilmu dan ibadah kita, guna mencapai ketakwaan yang hakiki karena Allah semata. Allahu a’lam.

0 komentar:

Posting Komentar