Rabu, Desember 31, 2008

Burung Perkutut Putih

Hari itu hari sial bagi Edi. Sejak pagi tidak seekor burung pun yang berhasil ditembaknya.
Dengan hati kesal Edi menyandang senapan anginnya. Ia hampir putus asa.
Tiba-tiba terdengarlah suara burung perkutut dari kejauhan. Seekor burung perkutut putih bertengger di sebatang pohon jati, tak begitu tinggi. Edi membidikkannya senapan serta menembaknya.
“Kena!”
Burung itu masih mencoba juga untuk terbang. Namun kiranya sudah tak kuat lagi. Akirnya melayanglah ia dan terkapar di tanah. Edi mencari di sekitar tempat jatuhnya tadi. Burung itu didapatkannya belum mati. Ia kena tembak pada pahanya. Darah membasahi kakinya.
Edi hendak menangkapnya. Tetapi di luar dugaannya, burung itu masih bisa mengepakkan sayapnya. Lalu terbang lagi ke udara. Namun belum bagitu jauh, jatuh kembali. Burung itu lalu berusaha hinggap di sebatang ranting kayu. Tetapi tak berhasil, lantaran kedua belah kakinya telah lumpuh. Ia menggelepar ke tanah, sedangkan Edi tetap memburunya.
Darah berceceran membasahi bulunya yang putih mulus itu. Dengan kekuatan sayapnya ia selalu menggelepar mencoba mengelakkan diri dari tangkapan Edi.
Burung itu terbang lagi. Sayang tidak berhasil juga. Kemudian ia jatuh dan tersangkut di ruas bambu yang cukup tinggi.
Edi telah berusaha kembali untuk menangkap burung perkutut putih itu. Dalam hati ia merasa heran juga. Mengapa burung itu demikian kuat menahan sakitnya. Padahal kedua kakinya telah lumpuh. Tak dapat dipergunakan untuk hinggap lagi. Akan tetapi anehnya selalu dapat lolos dari tangkapan Edi.
Sekarang Edi benar-benar berusaha. Ia harus berhasil menangkap burung itu. Sebab Edi tak sampai hati membiarkan ia merasa demikian.
Betapa tidak! Pasti tak dapat lagi burung itu mencari makan. Hingga akhirnya akan mati menyedihkan.
Timbullah rasa iba di hati Edi. Dan dia bermaksud hendak memeliharanya nanti, bila burung itu tertangkap. Akan dirawatnya lukanya hingga sembuh. Edi menyesali perbuatannya yang telah melumpuhkan kedua kakinya burung itu. Mengapa pelurunya tadi tidak mengenai kepala saja, hingga sekaligus mematikan burung itu?
Dengan hati-hati diraihnya batang bambu tempat burung itu tersangkut. Niatnya untuk merawat burung perkutut putih itu semakin besar. Apalagi bulunya yang putih mulus itu tampak menyenangkannya benar. Biasanya burung perkutut berbulu kehitam-hitaman atau kelabu. Tetapi burung yang satu ini tidak demikian halnya. Ia berbulu putih mulus seperti kapas.
Hampir saja tangan Edi berhasil menangkap burung itu. Tetapi di luar dugaannya, burung itu tersentak terbang pula. Meskipun demikian, Edi masih juga berharap burung itu hinggap lagi. Tapi ternyata malah terbang semakin tinggi hingga akhirnya menghilang entah ke mana.
Beberapa saat lamanya Edi tertegun saja. Pikirannnya selalu membayangkannya nasib burung perkutut putih yang malang itu.
“Ah, kasihan burung itu. Lama-kelamaan ia tentu akan mati merana. Sebab tidak akan dapat mencari makan lagi.” Demikian pikirnya.
Sudah seminggu Edi kerjanya hanya membenamkan diri di dalam kamar saja. Senapan anginnya dibiarkan tergantung di tembok. Ia selalu merenungkan nasib burung perkutut putih yang malang itu.
“Betapa merana dia. Kedua kakinya telah lumpuh.” Pikirannya selalu terganggu.
Beberapa hari kemudian, Edi jatuh sakit. Badannya panas. Kadang-kadang ia mengigau.
“Apakah Ibu tidak pernah melihat burung perkutut putih itu, Bu?” kata Edi kepada ibunya dengan setengah tak sadar.
“Apa? Burung perkutut putih?”
“Ya, Bu! Burung yang telah lumpuh kedua kakinya.”
“Kau mimpi, Nak! Tak ada burung perkutut berwarna putih. Perkutut semuanya berbulu kelabu atau kehitam-hitaman.”
“Tetapi burung yang satu ini berbulu putih seperti kapas, Bu! Dan kedua kakinya telah lumpuh. Sebutir peluru senapan saya telah mematahkannya. Ia pasti merana sekarang.”
Macam-macam usaha telah dilakukan oleh orang tua Edi untuk menyembuhkan anaknya. Dokter pun tidak dapat menentukan sakit apa gerangan. Sebab menurut dokter ia sama sekali tidak sakit. Padahal kenyataannya ia diserang sakit demam dan suka mengigau menanyakan burung perkutut putih.
Pada suatu pagi yang cerah, waktu itu Edi sedang berbaring sendirian di kamarnya, matanya senantiasa menatap ke laras senapan anginnya yang tergantung di tembok.
Tiba-tiba Edi mendengar suara burung perkutut tidak jauh dari kamarnya. Dengan susah payah ia mencoba bangkit, agar dapat mendengar suara burung itu lebih dekat lagi. Dengan bertatih-tatih ia merambat tembok, menuju ke jendela.
Dan betapa gembiranya Edi waktu dilihatnya seekor burung perkutut putih bertengger di sebatang pohon randu, tidak jauh dari tempatnya. Burung itu sedang berdendang untuk Edi.
Hari-hari berikutnya setiap pagi burung itu selalu bertengger di dahan randu dekat kamar mandi Edi. Dan semenjak itu pulalah Edi pun berangsur sembuh.

0 komentar:

Posting Komentar