Rabu, Desember 31, 2008

Aku Tak Mau Memaafkanmu

Pernahkah Kamu benci seseorang sampai kamu merasa mual, keluar keringat, sedih, sekaligus kepingin marah-marah setiap keringat padanya? Aku pernah. Walau kejadiannya sudah lama, aku ingat dari mana pangkal kebencian ini mulai tumbuh.
Dulu, ketika aku masih imut-imut dan duduk di bangku kelas lima SD, kelasku kedatangan murid baru dari kota. Dan cocok bertubuh tinggi besar-hampir setinggi guru olah raga kami yang atletis. Mungkin karena dua hal itulah si berengsek itu jadi belagu dari semua korbannya itu, aku inilah yang paling apes nasibnya, aku tahu tubuhnya lemah dan aku paling enggak bisa berolahraga. Aku paling parah dalam berlari, melompat atu memukul bola. Mungkin untuk mendapat tenaga yang sama dengan teman sebayaku pada saat itu, bisa jadi aku memerlukan dua atau tiga kali lipat dosis obat supplemen penambah tenaga. Oleh karena itulah aku jadi bulan-bulanan si anak sialan itu! Melihat tubuhku yang kurus, pucat dan loyo, tak pelak lagi dari mulutnya yng miga comil nan dahsyat itu, meluncurlah panggilan baru untukku taitu TAPE SINGKONG!!!
Saking dahsyatnya, sejak detik itu tak ada yang memanggil aku dengan nama asliku. Semua memanggilku TAPE SINGKONG. Ke mana pun aku pergi dan bertemu dengan murid dari SD ku, mereka berseru; “Hei tape singkong, sekilonya berapa?”
Ketika aku tamat SD, awalnya aku merasa lega. Aku pikir dengan bertambah tinggi pendidikan kami, mereka akan melupakan ‘Tape singkong’ –nya. Apalagi si mulut comber itu sudah pindah dari kotaku. Ada yang bilang kalo dia ikut pindah bersama ortunya ke Afrika. (Sejak saat itu aku selallu berdoa agar dia disantap suku kaniobal). Ternyata perkiraanku meleset.
Tentu saja! Karena banyak murid dari SD ku bersekolah di SLTP yang sama dengan ku dan mereka tetap memanggilku si TEMPE SINGKONG. Lebih parah lagi, murid-murid yang berasal dari SD lain pun ketularan. Begitulah. Gelar TAPE SINGKONG-ku bertahan selama tiga tahun kemudian.
Setelah membunyikan sedihku sendiri selama itu – aku nggak pernah menceritakan keadaanku di sekolah pada ortuku, karena aku nggak mau disebut si tukang ngadu atau si cengeng – akhirnya aku memutuskan untuk pergi jauh dari kota kelahiranku untuk meneruskan SMU di sebuah kota besar dan tinggal bersama nenekku.
Perubahan ini membuatku gembira. Aku merasa menjadi kupu-kupu yang baru keluar dari kepompongnya dan sekarang aku sedang mengeringkan sayap-sayapku yang indah agar kokoh dan siap terbang ke langit biru. Tapi sebelum aku terbang, tiba-tiba ada monster siap melahapku! Orang yang sangat aku benci selama ini telah berdiri tak jauh di depanku!
Nggak salah lagi, itu si Anak Sialan! Aku nggak pernah lupa dengan bentuk bibirnya telah mengolokku. Untuk apa makhluk itu ada di sini? Apakah dia sengaja datang mencariku untuk mencelaku lagi? Ketika kilatan matanya yang tajam menangkapku, bibirnya menyeringai dan mulai mengucapkan sebuah kata.
Aku nggak mau mendengar apa yang akan dikatakannya. Aku segera berbalik dan membuat langkah lebar untuk menghindar, tapi aku lupa bahwa aku sedang berada di tangga beton sekolah yang curam. Aku jatuh terguling dan setelah itu aku nggak ingat apa-apa….
Aku mengerjap-mengerjap mataku kemudian melihat sekeliling tempat aku berbaring. Aku langsung sadar pasti aku sedang berada di rumah sakit, tempat yang selama berada di kota ini belum pernah aku datangi. Nenekku tersenyum melihat aku sedang bangun. Belum cerita kalau aku tak sadar kan diri selama setengah hari.
“Sayang, ada temanmu datang,” ujar Nenek keesokan harinya.
“Siapa Nek?” Tanyaku walau aku yakin yang datang adalah Femy sabatku.
“Entahlah, Nenek lupa Tanya namanya. Yang jelas. Sejak kejadian kau di bawa ke rumah sakit dulu, dialah menemanimu. Tapi karena kamu lama nggak sadarkan diri, maka Nenek suruh dia pulang.”
“Ajak dia masuk aja, Nek.” Aku buru- buru mengubah raut wajahku menjadi ceria. Aku nggak mau teman-temanku melihat air mukaku yang murung.
“Halo. Selama sore.” Sekarang berdiri hanya beberapa senti di hadapanku… si berengsek itu! Dengan senyum lebar dia meletakkan seikat bunga di pangkuan . “Senang ketemu lagi . Kamu tahu, sekarang aku jadi murid baru di sekolahmu.”
Aku tercekat. Tubuh mengerut, Aku merasa sedang dalam keadaan déjà vu. Aku teringat masa lalu ketika dia memberiku setangkai bunga matahari yang dipenuhi ulat bulu yang besar-besar merayap di tangkainya. Saat itu karena panik aku lari dan salah satu kakiku masuk got sampai tulang keringku retak..
Nggak! Sekarang aku nggak boleh lemah. Kuraih rangkaian bunga boleh lemah. Kuraih rangkaian bunga dari pangkuan dan aku melemparnya tepat ke muka si Anak Setan itu.
“Pergi!! Jeritku. “Kenapa kamu nggak pernah puas mengangguku? Kenapa kamu enggak bisa biarkan aku hidup tenang? Pergi!!”
“Nina!” si Mulut Ember keheranan memegangi tangan kananku yang meronta ronta. Baru kali ini aku mendegarnya memanggil namaku dengan benar.
Tapi aku gak peduli. ”Kenapa kamu nggak disantap orang kanibal dan tulangmu dijadiin tusuk konde? Kenapa tuhan gak dengar doaku?!!” Aku terus berteriak tapi nggak ada seorangpun yang datang, nenekku atau suster penjaga. Di mana mereka?
Akhirnya aku terdiam karena pening. Kepalaku terkulai di atas bantal. Aku sekarang benar-benar nggak berdaya. Yang bisa aku lakukan hanya memalingkan muka dari si sial ini.
“Nina, ada apa?” Tanyanya tolol. “Kamu benci aku? Kenapa? Kita kan baru ketemu lagi?”
Suasana hening sejenak dan anak sialan itu terus menatapku seperti sedang mencari jawaban.
“Ok kalo begitu, sebaiknya aku pulang ,” gumamnya setelah beberapa saat memperhatikan raut wajahku yang sedang sebal.
Aku jawab dengan delikan. Baguslah, siapa juga yang mengundangmu ke mari? “Dan… kalo aku punya salah, tolong memaafkan aku.”
Tinggal beberapa hari di rumah sakit membuat hatiku tenang selama itu aku nggak pernah lagi melihat batang hidung si Brengsek. Sebaliknya, ketika aku diperbolehkan pulang dan diijinkan kembali di sekolah, aku jadi gelisah. Perasaan takut untuk sekolah yang telah lama aku buang kini muncul lagi.
“Nina, ayo cepat.” Nenek muncul di pintu kamarku. “Tuk, temanmu sudah jemput.”
Temanku yang mana? “Aku rasa temanku nggak ada yang janji menjemputku.
“Itu, si Firman, yang tempo hari tengokin kamu.”
“Suruh dia pergi duluan ajak Nek. Kan Nenek sudah janji mau antar saya,” pintaku. Aku janji takut. Jangan-jangan dia mau mencelakaiku.
Dengan susah payah Nenek menyeretku ke teras depan dan disambut dengan senyuman si Anak Aetan itu. Huh, senyuman palsu!
“Ngapain kamu jemput saya?” Tanyaku Sinis.
“Eh, orang datang baik-baik kok disambut ketus?” Nenek gak suka jutek.”
Akhirnya aku tahan emosiku. Aku nggak mau masalahku diketahui Nenek. Maka dengan tampang masih cemberut aku masih juga ke mobil bebuyutanku.
“Nenekmu gaul ya?” komentar si Brengsek.
“Apa tujuan kamu jemput aku?” tanyaku lagi tanpa peduli dengan komentarnya.
“Ya..kepengen aja,”jawab si Mulut Ember santai. “Sebenarnya… aku pengen tahu apa alasanmu membenciku. Apa sama dengan dugaanku?”
“Kamu tahu, karena ejekan dari mulutmu yang busuk sewaktu kita SD itu sudah buat aku menderita selama lima tahun?” Mataku memicing. Aku kembali telingat masa suramku. Aku merasa ada air hangat mengalir di pipiku. “kamu tahu rasa diolok-olok selama itu” kamu pikir aku lemah karena keingnanku? Kamu pikir enak sering pake tongkat penyangga ke sekolah?” aku tak kuasa melanjutkan kata-kataku.
“Ternyata benar,” suaranya kering “ aku sekarang ngerti. Kamu tahu? Kita ketemu lagi di sini pasti supaya aku bisa minta maaf sama kamu.. Nina, maafin aku ya.. aku janji akan melakukan apa saja untuk menebus kesalahan itu.”
Oh ya? Benarkah? Apa kamu bisa memutar waktu kembali ke masa enam setengah tahun lalu dan merubah keadaan? Bisanya cuma asal ngomong. Lagi pula aku meragukannya.
Tapi ternyata si Monster Doer itu benar-benar memegang janjinya. Dari hari pertama aku kembali ke sekolah, dia selalu membuatkku cacatan pelajaran untukku. “Aku ingat kamu kidal.” Begitu katanya. Selain itu dia bertingkah seolah-olah jadi bodyguard-ku. Setiap aku berjalan di tepi lapangan sekolah, matanya sealalu waspada kalau-kalau aku tersundul bola atau tertabrak orang yang sedang berolah raga dan yang pasti dia menjadi sopirku setiap hari.
Menurutku tingkahnya ini berlebihan. Aku nggak perlu diawasi seperti porselen dan aku nggak mau digoda teman-teman karena mengira aku sedang berpacaran dengannya. Pacaran sama dia? Wah, sori dori deh. Sampai kapan pun nggak mungkin!
Meskipun begitu, tugasnya sebagai sopir pribadiku benar-benar membantu walau bukan aku yang minta. Seperti hari Minggu kemarin, saat aku merayakan pembukaan gibsku. Dia dengan suka rela mengantar aku dan sahabat-sahabatku ke Dufan. Dan dengan setia seperti kerbau yang dicocok hidungnya, si Moster mengikuti ke mana pun kami pergi dan membawakan semua barangku selama kami bemain di sana. Lucunya, aku senang melihat ekspresi cemasnya ketika aku naik ontang-anting. Ayo! Apa kamu bisa tangkap aku kalo aku jatuh?!
Di perjalanan pulang, aku merasa kasihan melihat raut muka si Monster yang kelelahan. Tapi salahnya sendiri mengapa mau saja jadi kacungku?!
Senin-nya aku pergi sekolah sendirian tanpa menunggu jemputan si Manusia Bukit. Aku fikir karena sekarang aku sudah sembuh, dia nggak akan datang menjemputku lagi. Dan memang anak itu nggak menjemputku bahkan nggak masuk sekolah.
Mulanya kealpaannya itu aku cuekin aja sampai aku teringat kembali dengan wajah pucatnya kemarin sore. Aku jadi gelisah. Apa dia sakit? Aku ingin segera menanyakan keadaannya, tapi aku urungkan niatku itu. Aku merasa gengsi.
Tapi ternyata gengsiku nggak bertahan lama. Pada hari ketiga, akau masihn nggak melihat si Monster yang biasanya mengawasiku. Aku merasa ada sesuatu yang hilang. Akhirnya aku nggak tahan untuk mencari tahu keadaannya. Bukankah selama ini dia sudah berbuat baik padaku?
“Halo…? halo..?” terdengar suara pembantu si Brengsek di telepon di seberang sana.
Aku hanya terdiam setelah tahu bahwa Monster itu sedang di rumah sakit karena penyakt lamanya. Mengapa anak itu nggak pernah cerita tentang penyakitnya padaku? Oh iya, aku kan nggak pernaqh ajak dia ngobrol, biasanya aku tutup mulut dan telinga saja setiap ada si dekatnya.
Sekarang aku berdiri di depan sebuah pitu ruang rawat inap. Aku nggak tahu apa yang telah mendorongku untuk datang ke mari. Perlahan ku buka pintu bercat putih itu dan di sudut ruangan aku melihat sosok yang ku kenali terbaring di ranjang berselimut hijau.
“Hai,” sapaku kikuk setelah aku hampiri ranjang itu.
Si Moster hany diam saja. Matanya tertutup rapat. Baru kali ini kau perhatikan, ternyata cowok di hadapaku ini bukan lagi anak laki-laki yang berbadan besar seperti sewaktu kami SD dulu, sekaranag dia sudah berubah menjadi anak laki-laki yang kurus denag pipih tirus, bermata cadok, dan gaya rambut spike-nya itu ternyata bukan korban mode, itu hanya akal-akalan saja untuk menyamankan rambutnya yang tipis.
Aku menelan ludah. Aku merasaa jahat karena nggak pernah memperhatikan keadaannya dan apakah karena gara-gara aku penyakitnya kambuh lagi? Aku merasa bersalah.
Mata cekung itu perlahan terbuka. Bibir keringnya menyunging senyuman khas.
“Kenapa kamu nggak bilang kalo kamu sakit?” selidikku.
“Aku nggak apa-apa kok.” Suaranya terdengar lemah.
“Lalu leukeumia itu apa? Trus kenapa sekarang kamu ada disini?” aku mengatup rapat bibirku supaya nggak kelihatan bergetar.
“Leukeumia sudah sembuh. Aku disini karena lever-ku. Kamu tahukan efek obat-obatan keras?” suaranya semakin lemah. “Mm… kamu kesini untuk memaafkanku ya?”
Aku terdiam
“Tolonglah. Aku tahu rasanya nggak bisa sebebas orang sehat. Aku sudah dapat balasannya. Jadi tolong, maafkan aku.”
Cowok dihadapanku mengangguk perlahan. “supaya aku tenang. Tolonglah waktuku tinggal sedikit.”
Waktu apa? Aku tersentak, aku mulai mengerti, “Aku… nggak mau.”
“Please.” Suara Monster itu menjadi seperti bisikan.
“Firman .”ternyata baru kali ini aku menyebut namanya. “Aku nggak mau maafin kamu,”
Mata Firaman mulai meredup
“AKU TIDAK MAU MEMAAFKANMU dengan cara seperti ini! kamu dengar? Nggak kalo akhirnya kamu pergi. Jadi ayo bangun!” jeritku dan mataku memanas.
Tuhan, tolonglah, aku nggak mau kehilangan monsterku ini. Tanpanya mungkin aku masih jadi orang yang cengeng, yag terus meratapi kelemahan, aku juga nggak akan sekuat dan seberani seperti sekarang ini. Kumohon Tuhan, aku bersungguh-sungguh.. aku nggak membencinya lagi. Tuhan, jangan bawa dia pergi dari sisiku…..

0 komentar:

Posting Komentar